Pohon Menangis
Dahulu kala, terdapat sebuah kerajaan besar. Di kerajaan tu, hiduplah seorang putri yang cantik bernama Putri Sekarwangi.
Suatu hari, seorang pelayan kerajaan memanggil Putri Sekarwangi dengan wajah sumringah. ”Tuan Putri…! Tuan Putri…! Tuan Putri Sekarwangi…! Saya membawa kabar gembira! Diman Anda Tuan Putri…?”
“Aku di sini Juagleng. Kalau kau ingin bicara denganku, kemarilah!” terdengar jawaban dari sebuah kamar yang mewah.
Perempuan paruh baya itu duduk di samping Putri Sekarwangi. “Ada apa Juagleng? Mengapa kau memanggil-manggil aku terus? Kabar gembira apa yang kau bawa?” Tanya Putri Sekarwangi dengan tatapan heran.
“Begini Tuan Putri, tadi saya mendengar pembicaraan antara Baginda dan orang suruhan dari kerajaan sebelah…”
“Lalu, apa yang mereka bicarakan?”
“Katanya , besok Pangeran Gadingputih akan melamar Tuan Putri. Baginda dan permaisuri juga sudah setuju. Wah…! Tuan Putri pasti senang bukan?! Karena Pangeran Gadingputih itu ‘kan putra mahkota. Sudah begitu, beliau tampan dan baik hati. Wah…! Tuan Putri beruntung sekali bisa mendapatkan Pangeran Gadingputih!” tutur pelayan kerajaan itu panjang lebar.
Sekarwangi hanya terdiam maendengarnya.
“Maaf ya Tuan Putri, saya harus kembali. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan.” Sang Putri hanya mengangguk.
Sepeninggal Juagleng, Sekarwangi bingung dan tak tau harus berbuat apa. Ia sama sekali tak siap jika harus menikah dengan orang yang umurnya lebih tua 11 tahun darinya itu. Memang, Pangeran Gadingputih itu tampan, baik, dan juga seorang putra mahkota. Tapi ia sama sekali tak ingin jika harus menikah dengan orang yang sama sekali tak dicintainya. Apalagi diumurnya yang masih 14 tahun ini. Ia masih ingin bermain dan menikmati masa mudanya dulu. Begitu pikirnya.
“Aku harus membuat rencana untuk membatalkan pernikahan ini!” tekad Sekarwangi.
Langit yang gelap menjadi indah karena sinar rembulan. Suasana istana legang. Semua orang di istana itu telah terlelap tidur. Tapi sepasang mata sedang mengamati keadaan istana. “Aku harus bisa kabur dari istana ini! Tapi bagaimana? Di luar ‘kan banyak penjaga. Bagaimana aku bisa keluar?” pikir Sang Putri.
“Aha!” Air muka Sekarwngi mendadak menjadi sumringah.
Putri itu mengendap-endap berusaha keluar dari istana.
“Akhirnya, aku bisa keluar. Meskipun aku harus membohongi penjaga itu dan mengatakan ada pencuri yang masuk. Tapi tak apalah, yang penting pernikahan itu batal.”
Putri Sekarwangi tak tau harus kemana. Ia berjalan tanpa tujuan. Akhirnya ia tiba di sebuah pohon yang sangat besar di tengah hutan. Ia akhirnya tidur di bawah pohon itu karena lelah.
Matahari di ufuk timur mulai menampakkan sinarnya.
Di istana, Juagleng tergopoh-gopoh menuju kanar Putri Sekarwangi untuk membangunkannya.
“Tidak!!! Tidak mungkin!!!”
“Ada apa Juagleng? Mengapa kau berteriak-teriak?” Tanya wanita yang dipanggil permaisuri itu.
“Tuan Putri tidak ada. Tuan Putri hilang!” jawab Juagleng.
Akhirnya, Raja, para pengawal dan Pangeran Gadingputih yang baru tiba langsung mencari Putri Sekarwangi yang hilang.
“Cepat! Kalian cari di sebelah sana! Aku mencari di sebelah sini!” perintah sang Raja.
Sekarwangi yang mendengar suara ayahnya langsung terbangun dari tidurnya karena terkejut. Ia lebih terkejut lagi melihat Pangeran Gadingputih ikut mencarinya. Karena takut ketahuan Sekarwangi bersembunyi di bslik semak-semak. Tak sengaja ia mendengar pembicaraan ayahnya dengan Pangeran Gadingputih.
“Maafkan saya Pangeran Gadingputih, Anda jadi harus begini untuk mencari anak saya.”
“Tidak apa-apa. Lagi pula saya ikut mencari Sekarwangi karena keinginan saya sendiri. Dan saya sangat mencintai Sekarwangi.”
“Tapi bagaimana kalau Sekarwangi tidak diketemukan? Apakah Anda akan tetap ingin menikah dengannya?”
“Ya tentu! Saya sudah lama mencintai Sekarwangi dan ingin menikah dengannya. Meskipun saya harus menunggu seribu tahun lamanya, saya akan tetap menunggunya.”
Sang Raja hanya terdiam mendengar ucapan Pangeran Gadingputih. Sementara Sekarwangi semakin bingung mendengarnya.
“Bagaimana ini? Rencanaku, setelah aku kabur dari istana, Pangeran akan membatalkan pernikahan ini dan aku akan kembali ke istana dengan tenang. Tapi mengapa jadi begini? Kenapa Pangeran Gadingputih malah ingin menungguku? Ah, sebaiknya aku tetap tinggal di hutan ini sampai suasana aman.”
Sinar matahari kelihatan merah di ufuk barat. Tanda hari akan mulai malam. Pencarian pun dihentikan dan dilanjutkan esok hari.
“Bagaimana? Apa anak kita sudah ditemukan?” Tanya Permaisuri pada Raja dengan mata yang sembab karena terlalu banyak menangis. “Belum. Tapi besok kita akian mencarinya lagi.” Jawab Baginda Raja dengan tatapan menerawang.
Dua hari, tiga hari, lima hari, seminggu sudah pencarian dilakukan. Tapi Putri Sekarwangi belum juga ditemukan. Tapi Rja dan Pangeran Gadingputih belum menyerah untuk mencarinya.
“Aduh…! Perutku lapar sekali ! Sudah tiga hari aku tidak makan. Mereka juga belum menyerah mencariku… Bagaimana ini? Apa aku harus selamanya tinggal di hutan ini? Kalau begitu sama saja aku mati konyol! Ah, aku tidak mau itu! Ehmm… andai saja ada orang yang bisa mengubah wajahku agar orang-orang tidak mengenaliku…”
“Apa itu yang kau inginkan, Nak?”
“S…s…si…siapa kau?”
Sekarwangi kaget malihat melihat sosok wanita tua berbaju lusuh yang tiba-tiba ada di hadapannya itu.
“Apa kau memang ingin merubah wajahmu agar orang-orang tidak mengenalimu?” Tanya wanita tua itu.
“Ya… Memangnya kenapa?” jawab Sekarwangi pelan.
“Aku bisa mewujudkannya jika kau mau.” Kata wanita tua itu meyakinkan.
“Memangnya kau bisa???” tanya Sekarwangi ragu.
“Tentu saja!” jawab wanita tua itu singkat. “Mari ikut aku, Nak!” ajak wanita tua itu.
Sekarwangi mengikuti wanita tua itu.. Akhirnya mereka berdua tiba di sebuah tempat di bawah pohon beringin yang sangat besar dan di pinggir sebuah sungai .
“Potonglah salah satu ranting pohon beringin itu.” perintah wanita tua itu.
“Untuk apa?” tanya Sekarwangi.
“Sudahlah… Ikuti saja perintahku! Bukankah kau ingin merubah wajahmu?” jawab wanita tua itu ketus.
“Ya… Baiklah…” jawab Sekarwangi pelan. Kemudian Sekarwangi memotong ranting pohon beringin itu dengan susah payah.
“Ini rantingnya.” Sekarwangi menyodorkan ranting itu pada wanita tua itu.
“Apa kau yakin ingin merubah wajahmu?” tanya wanita tua itu serius.
“Tentu saja!” jawab Sekarwangi mantap.
“Tapi, ada satu pantangannya…” kata wanita tua itu.
“Apa? Apa pantangannya?” tanya Sekarwangi heran.
“Kau tidak boleh menikah dengan orang laki-laki pertama yang kau temui setelah ini. Apa kau sanggup menerimanya?”
“Itu mudah sekali. Aku menerimanya. Tapi kalau boleh tau, apa hukumannya jika melanggar pantangan itu?”
“Aku tidak bisa mengatakannya. Tapi, dibulan purnama setelah pernikahan terlarang itu, akan terjadi sesuatu yang mengerikan jika kau melanggar pantangan itu.”
Sekarwangi mengangguk-angguk mengerti.
“Sekarang tutup matamu perlahan-lahan.” Perintah wanita tua itu.
Sekarwangi hanya menurut. Wanita tua itu mengguyur Sekarwangi dengan air sungai sambil mulutnya komat-kamit seperti membaca mantra. Kemudian memukul-mukul kepala Sekarwangi dengan ranting pohon yang tadi.
“Sekarang buka matamu perlahan-lahan.” Perintah wanita tua tua itu.
“Hem… wajahmu masih tetap cantik meskipun berubah.” Kata wanita tua itu.
Sekarwangi bingung mendengar ucapan wanita itu.
“Lihatlah wajahmu!” wanita tua itu menyodorkan cermin kepada Sekarwangi. Entah dari mana ia mendapatkannya.
“Hey! Lihat! Wajahku berubah! Wajahku berubah! Teriak Sekarwangi girang. Ia hampir tak percaya bahkan ia hampir tak mengenali wajahnya sendiri. Tapi ia sangat senang. Sekarwangi tak henti-hentinya melihat wajahnya di cermin itu.
Wanita tua itu hanya menatap diam. Diam tanpa ekspresi.
“Terima kasih banyak kau telah merubah wajah…ku?” Sekarwangi sangat kaget ketika berbalik badan dan melihat tak ada wanita rua itu di sekelilingnya. Ia mencari-cari wanita tua itu kemana-mana sambil berlari, tapi usahanya nihil. Wanita tua itu seakan lenyap ditelan bumi. Karena kelelahan, Sekarwangi akhirnya pingsan tak sadarkan diri.
Sekarwangi membuka matanya perlahan. Matanya terasa berat dibuka. Sebuah bayangan seseorang memenuhi ruang penglihatannya.
“Kau sudah sadar?” tanya sosok itu.
“Siapa kau? Dimana aku sekarang?” tanya Sekarwangi lemas.
“Namaku Ranggawungu. Aku menemukanmu tiga hari yang lalu di tengah hutan saat mencari kayu bakar. Karena kasihan, aku membawamu. Kau telah pingsan selama tiga hari. Sekarang kau di rumahku. Oh, ya maaf, bajumu telah diganti oleh adik perempuanku karena bajumu kotor sekali, tidak apa-apa ‘kan?”
Sekarwangi menatap sosok laki-laki itu dengan pandangan yang berbeda dari biasanya. Bagi Sekarwangi, ia bagaikan penyelamat nyawanya.
“Terima kasih kau sudah menyalamatkanku. Kalau tidak ada kau, mungkin aku sudah mati dimakan binatang buas.” kata Sekarwangi.
“Sama-sama.” jawab Ranggawungu seraya tersenyum.
“Ehm, kalau boleh tahu, siapa namamu?” tanya Ranggawungu.
“Sekarwangi.” jawab Sekarwangi singkat. Tapi buru-buru ia menutup mulutnya. Seharusnya ia memakai nama samaran, bukan nama asli.
“Hemm, namamu sama dengan nama Putri yang hilang itu. Tapi, tidak mungkin ‘kan kau Putri itu…? Mungkin namamu hanya kebetulan sam dengannya.”
“Ya… Hanya kebetulan…”
Sekarwangi menarik napas lega karena Ranggawungu sama sekali tak curiga padanya.
“Oh, ya! Ini makanannya. Kau pasti lapar sekali ‘kan?” kata Ranggawungu seraya menyodorkan sepiring nasi dengan sepotong tempe di atasnya.
Ya benar aku lapar sekali! Sangat lapar! Sudah enam hari aku tidak makan! Batin Sekarwangi sambil memakan makanan itu dengan sangat lahap. Meskipun tidak seenak makanan di istana, tapi Sekarwangi memakannya tanpa basa-basi. Ranggawungu menatap dengan pandangan teduhnya.
Seminggu sudah Sekarwangi tinggal di rumah Ranggawugu. Ia sangat kagum pada Ranggawungu yang hanya hidup berdua dengan adiknya setelah di tinggal mati oleh kedua orang tuanya padahal umur Ranggawungu masih sangat muda. Sama sepertinya, 13 tahun. Tapi ia sudah sangat mandiri. Berbeda sekali dengan dirinya.
“Kehidupan di sini berbeda sekali dengan di istana. Di sini aku lebih bebas melakukan apa saja dan tak terikat peraturan-peraturan yang membosankan. Andai saja dari dulu aku seperti ini…” pikir Sekarwangi sambil tersenyum-senyum sendiri.
Suatu hari, Sekarwangi membantu Ranggawungu membersihkan halaman depan rumahnya.
“Sekarwangi, kalau boleh tahu, dimana rumahmu dan siapa orang tuamu?” tanya Ranggawungu.
Sekarwangi terdiam sebentar.
“Emm… Aku tidak punya rumah dan orang tua…” jawab Sekarwangi pelan. Ia tahu ia telah berbohong. Tapi tak mungkun ‘kan jika ia mengatakan yang sebenaranya.
“Ranggawungu…” kata Sekarwangi pelan.
“Ya…?”
“Bisakah kau tidak menanyakan hal itu lagi?” pinta Sekarwangi. Ia tak ingin Ranggawungu bertanya lebih jauh.
“Baiklah… Aku tidak akan menanyakannya lagi. Tapi kalau memang kau tidak punya tempat tinggal, kau bisa tinggal di sini bersamaku dan adikku.” jawab Ranggawungu.
“Baiklah… Terima kasih…”
Tiba-tiba, seseorang berlari ke arah mereka. Sekarwangi seperti mengenal sosok itu. Juagleng! Ya! Orang itu adalah Juagleng! Tapi, mengapa Juagleng bisa ada di sini? Batin Sekarwangi.
“Mengapa kau berlari-lari Bibi Juagleng?” tanya Ranggawungu.
Bibi?! Batin Sekarwangi heran. Oh, jadi Juagleng adalah bibi Ranggawungu. Pikir Sekarwangi.
“Aku sedang mencari Tuan Putri. Aku kasihan melihat Permaisuri setiap hari menangis memikirkian Tuan Putri…”
Ibu… batin Sekarwangi .
“… Juga Pangeran Gadingputih yang tak henti-hentinya memikirkian Tuan Putri….”
Ayah? Bagaimana denagn ayah? Batin Sekarwangi bertanya-tanya.
“…Baginda Raja juga sangat bingung mau kemana lagi mencari anak tunggalnya itu… Oh, sungguh kasihan nasib mereka… Duh, Tuan Putri… mau kemana lagi kami harus mencari??? Cepatlah pulang Tuan Putri… Pangeran Gadingputih menanti Anda…” kata Juagleng dengan mata menerawang ke langit.
“Semoga Tuan Putri lekas ditemukan ya, Bibi… aku hanya bisa mendoakan dari sini…” kata Ranggawungu.
“Oh, ya siapa gadis di sampingmu itu, Ranggawungu?” tanya Juagleng.
Deg! Batin Sekarwangi ketakutan.
“Oh, dia temanku.” jawab Ranggawungu.
“Oh. Baiklah, kalau begitu aku harus kembali mencari Tuan Putri…” kata Juagleng seraya meninggalkan Sekarwangi dan Ranggawungu.
Benar juga. Juagleng tidak mengenalinya karena wajahnya berubah.
Tapi, pikiran Sekarwangi sekarang tertuju pada kedua orang tuanya. Sekarwangi berlari meninggalkan Ranggawungu. Matanya mulai berkaca-kaca memikirkan ibu dan ayahnya. Betapa jahatnya dia yang telah tega membuat kedua orang tuanya seperti itu. Tapi kalau dia kembali, Pangeran Gadingputih pasti akan memaksanya menikah. Ah! Sekarwangi bingung. Tak terasa air mata mulai membasahi kedua pipinya. Bagaimana ia harus bersikap sekarang? Apakah ia harus kebali? Atau tidak?
“Tapi, kalau aku kembali, percuma saja. Mereka tidak akan mengenaliku. Lebih baik aku tidak kembali dan tinggal di sini saja bersam Ranggawungu dan adiknya.” pikir Sekarwangi seraya menghapus air matanya. Egonya telah menutupi hatinya.
Satu tahun, lima tahun, sepuluh tahun, dua belas tahun sudah Sekarwangi tinggal di rumah Ranggawungu. Lama ia tinggal di sana membuatnya menaruh hati pada Ranggawungu. Ternyata Ranggawungu juga mencintai Sekarwangi. Akhirnya merekapun menikah.
Sekarwangi sama sekali lupa tentang pantangan yang tidak boleh dilakukannya.
Lima hari sudah Sekarwangi menikah dengan Ranggawungu. Tersiar kabar bahwa Permaisuri menjadi buta karena terlalu banyak menangis. Dan Raja juga sakit-sakitan karena memikirkan Sekarwangi. Sedangkan Pangeran Gadingputih belum menyerah untuk mencari Sekarwangi.
Tiga hari kemudian tersiar kabar Raja meninggal dan Permaisuri menjadi gila karena ditinggalkan oleh anak dan suaminya. Kabar itu akhirnya sampai juga ke telinga Sekarwangi. Sekarwangi sangat kaget mendengarnya. Hari itu, ia pergi ke luar rumah dan menangis di sepanjang jalan. Matahari mulai tenggelam. Hari-pun beranjak malam. Sekarwangi masih menangisi kedua orang tuanya.
Malam itu malam bulan purnama. Sekarwangi masih menangis di bawah sinar indah sang rembulan. Tapi tiba-tiba badannya mulai terasa sangat panas. Tapi ia tak memperdulikannya. Yang terpikir di otaknya sekarang adalah kebodohannya yang telah ia lakukan yang menyebabkan kedua orang tuanya sengsara.
Tubuh Sekarwangi tiba-tiba mengeluarkan benda aneh seperti batang pohon. Benda aneh itu semakin lama semakin banyak hingga menutupi tubuh Sekarwangi sendiri.
Di tempat lain, Ranggawungu sedang bingung menunggu istrinya yang tak kunjung pulang. Ranggawungu-pun kemudian mencari ke luar rumah. Di sebuah tempat, ia mendapati baju istrinya tergeletak di atas tanah. Dan di sampingnya terdapat pohon beringin setinggi manusia yang batangnya mengeluarkan air. Pohon itu seakan manangis karena suatu kesedihan. Ranggawungu yang kebingungan mencari istrinya meninggalkan pohon itu dan kembali mencari istrinya. Tapi usahanya percuma karena sebenarnya istrinya telah menjadi pohon beringin yang menangis tadi.
Sampai saat ini, setiap bulan purnama, batang pohon itu selalu mengeluarkan air. Dan orang-orang menyebutnya pohon menangis.